Sunday, July 24, 2011

Belajar Membagi Penghasilan Dari Emang Tukang Bakso



Di suatu senja sepulang kantor, saya masih berkesempatan untuk ngurus tanaman di depan rumah, sambil memperhatikan beberapa anak asuh yang sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai. Hujan rintik rintik selalu menyertai di setiap sore di musim hujan ini.

Di kala tangan sedikit berlumuran tanah kotor,...terdengar suara tek...tekk.. tek...suara tukang bakso dorong lewat. Sambil menyeka keringat..., ku hentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok bakso setelah menanyakan anak - anak, siapa yang mau bakso ?

"Mauuuuuuuuu. ...", secara serempak dan kompak anak - anak asuhku menjawab.

Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya. ...

Ada satu hal yang menggelitik fikiranku selama ini ketika saya membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue semacam kencleng. Lalu aku bertanya atas rasa penasaranku selama ini.

"Mang kalo boleh tahu, kenapa uang - uang itu Emang pisahkan? Barangkali ada tujuan ?" "Iya pak, Emang sudah memisahkan uang ini selama jadi tukang bakso yang sudah berlangsung hampir 17 tahun. Tujuannya sederhana saja, Emang hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak Emang, mana yang menjadi hak orang lain / tempat ibadah, dan mana yang menjadi hak cita-cita penyempurnaan iman ".

"Maksudnya.. ...?", saya melanjutkan bertanya.

"Iya Pak, kan agama dan Tuhan menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama. Emang membagi 3, dengan pembagian sebagai berikut :

1. Uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari - hari Emang dan keluarga.

2. Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban. Dan alhamdulillah selama 17 tahun menjadi tukang bakso, Emang selalu ikut qurban seekor kambing, meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja.

3. Uang yang masuk ke kencleng, karena emang ingin menyempurnakan agama yang Emang pegang yaitu Islam. Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu, untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya yang besar. Maka Emang berdiskusi dengan istri dan istri menyetujui bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini, Emang harus menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji. Dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi Emang dan istri akan melaksanakan ibadah haji.

Hatiku sangat...... .....sangat tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari si emang tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki fikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu. Dan seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rejeki.

Terus saya melanjutkan sedikit pertanyaan, sebagai berikut : "Iya memang bagus...,tapi kan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang mampu, termasuk memiliki kemampuan dalam biaya....".

Ia menjawab, " Itulah sebabnya Pak. Emang justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini. Karena definisi mampu bukan hak pak RT atau pak RW, bukan hak pak Camat ataupun MUI.

Definisi "mampu" adalah sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri. Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, "mampu", maka Insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita".

Source: Milis

Tuesday, July 19, 2011

5 Miliarder Dunia yang Hidup Sederhana

Setidaknya satu kali dalam hidup, pernahkah Anda berfantasi menjadi orang yang bergelimang harta? Lantas, apa yang akan Anda lakukan dengan uang miliaran atau triliunan di tangan Anda?

Memang tidak sedikit jumlah orang kaya di planet ini. Namun percaya atau tidak, masih ada di antara orang-orang kaya dunia tersebut yang hidup relatif normal, dalam arti hidup seperti orang kebanyakan.

Rahasia "kotor" dari orang-orang kaya bersahaja ini adalah bahwa mereka tidak bertingkah laku seperti orang kaya. Mereka sibuk berhemat dan berinvestasi demi masa depan, daripada menghambur-hamburkan uang hanya untuk kepentingan sesaat.

Coba simak beberapa orang kaya bersahaja di dunia berikut ini, seperti dikutip dari San Francisco Chronicle, Kamis 1 April 2010.

1. Warren Buffett


Buffett adalah seorang investor sukses, pebisnis, sekaligus filantropis, dan pemilik Berkshire Hathaway. Namun, rahasia sebenarnya dari kekayaan pribadi Buffett mungkin adalah kegemarannya untuk berhemat. Pemilik harta kekayaan senilai US$47 miliar ini menjauhi rumah dan benda-benda mewah. Bersama istrinya, pria 79 tahun ini masih tinggal di rumah sederhana mereka di Omaha, Nebraska, Amerika Serikat yang mereka beli dengan harga US$31.500, lebih dari 50 tahun lalu. Meski Buffett sering menikmati hidangan di restoran terbaik di berbagai belahan dunia, bila disodori pilihan, Buffett akan lebih memilih burger dan kentang goreng beserta Coke cherry dingin. Saat ditanya mengapa dia tidak memiliki sebuah kapal pesir, Buffett menjawab: "Kebanyakan mainan cuma menimbulkan rasa nyeri di leher."

2. Carlos Slim


Nama Carlos Slim belum terlalu dikenal orang bila dibandingkan dengan nama-nama besar macam Bill Gates. Namun, pria warga Meksiko ini baru saja dikukuhkan sebagai orang paling kaya sejagat, mengalahkan pendiri Microsoft tersebut. Kekayaan Slim bernilai lebih dari US$53 miliar. Meski dia bisa membeli berbagai barang mewah duniawi, Slim hampir tidak pernah memanfaatkan kesempatan itu. Seperti Buffett, Slim tidak memiliki kapal pesiar atau pesawat, dan tetap menghuni rumah yang sama sejak 40 tahun lalu.

3. Ingvar Kamprad


Kamprad, pendiri ritel furnitur terkemuka asal Swedia, Ikea. Bagi Kamprad, mencari cara untuk menghemat uang bukan hanya persoalan konsumennya, tetapi juga menjadi nilai berharga bagi dirinya sendiri. Kamprad pernah berujar, "Orang-orang Ikea tidak mengendarai mobil mencolok atau tinggal di hotel-hotel mewah." Aturan tersebut berlaku juga bagi dirinya, pendiri perusahaan ritel Ikea. Dia sering menggunakan kereta untuk mengurus bisnisnya yang tersebar di mana-mana. Untuk urusan di dalam kota, Kampard cukup memanfaatkan bus kota atau mengendarai mobilnya yang telah berumur 15 tahun, sebuah Volvo 240 GL.

4. Chuck Feeney


Feeney tumbuh besar sebagai seorang keturunan Amerika-Irlandia saat terjadi Depresi Besar di Amerika Serikat. Faktor itu bisa jadi mempengaruhi gaya hidup hemat pria kelahiran 23 April 1931 ini. Dengan motto pribadi "Saya ditakdirkan untuk bekerja keras, bukan untuk menjadi orang kaya", salah seorang pendiri Duty Free Shoppers ini diam-diam menjadi seorang miliuner dunia.

Namun, hal lain yang juga dilakukan diam-diam adalah bahwa Feeney memberikan nyaris semua kekayaannya ke yayasan kemanusiaan, Atlantic Philanthropies. Selain memberikan lebih dari US$600 miliar ke almamater Cornell University, dia juga menyumbangkan miliaran dolar ke berbagai sekolah, rumah sakit, dan badan penelitian. Feeney bahkan mengalahkan Buffett dan Kamprad dalam "kategori donasi".

Pemakai rutin fasilitas transportasi umum ini juga selalu terbang menggunakan kelas ekonomi, membeli pakaian dari toko ritel, dan tidak menghamburkan uang hanya untuk membeli rak sepatu besar. "Kita hanya bisa mengenakan satu pasang sepatu dalam satu kali kesempatan", katanya. Dia juga membesarkan anak-anaknya dengan cara normal, yakni dengan meminta mereka bekerja paruh waktu saat musim panas seperti yang dilakukan anak-anak remaja di Amerika.

5. Frederik Meijer


Toko-toko kelontong Meijer banyak tersebar di Midwest, Amerika Serikat. Nilai kekayaan Meijer mencapai lebih dari US$5 miliar, dan hampir separuh dari kekayaan itu justru ditimbun saat pendapatan bersih bisnis Meijer anjlok pada 2009.

Seperti Buffett, Meijer membeli mobil dengan harga logis dan mengendarai mobil-mobil itu sampai tidak bisa digunakan lagi. Seperti Kamprad, Meijer memilih motel-motel biasa saat bepergian untuk urusan bisnis. Dan seperti Chuck Feeney, Meijer fokus pada sesuatu yang bisa diberikan pada masyarakat, dan bukan memboroskan uang untuk kepentingan pribadi.

Monday, July 18, 2011

Mengenang Ustadz Jenderal Sudirman


Tidak ada seorang Indonesia pun yang tidak mengenal beliau. Namanya kerap diabadikan sebagai nama jalan-jalan besar di kota-kota seantero Indonesia. Ya, beliau Jenderal Sudirman, yang sering dipanggil sebagai Pak Dirman. Seorang Jenderal yang sekaligus ulama,guru dan panglima perang di masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan 1945-1949.

Sudirman lahir di Desa Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah pada 24 Januari 1916. Beliau lahir dari kalangan santri dan mengenyam pendidikan Muhammadiyah. Sebelum bergabung dengan Kyodo Boei Gyugun atau yang diistilahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai Tentara Pembela Tanah Air (PETA), Pak Dirman adalah guru di sekolah Muhammadiyah di Cilacap.

Pak Dirman direkrut pemerintah Jepang untuk disiapkan sebagai pasukan cadangan guna menahan infiltrasi tentara sekutu di bawah pimpinan Jenderal Douglas Mc Arthur. Karena kapasitasnya, selepas pendidikan militer Pak Dirman langsung menjadi komandan bataliyon PETA Banyumas.

Setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, para veteran PETA digabungkan dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal TNI. Pak Dirman menjabat sebagai Panglima Divisi Region Banyumas dengan pangkat Kolonel.

Pada tanggal 12 Desember 1945, Pak Dirman memimpin sebuah serangan terhadap Tentara Inggris di Ambarawa, yang dikenal sebagai Palagan Ambarawa, dan berhasil memukul mundur Tentara Inggris pada tanggal 16 Desember 1945. Dalam palagan Ambarawa tersebut Pak Dirman merekrut dan melatih santri-santri Pondok Pesantren Kyai Siraj Ambarawa sebagai anggota tentara.

Kemenangan gemilang Pak Dirman ini menjadikan Bung Karno (Presiden RI kala itu) mengangkat Pak Dirman sebagai Panglima Angkatan Bersenjata dan menaikkan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal pada tanggal 18 Desember 1945. Usia beliau saat diangkat menjadi Panglima Angkatan Bersenjata masih 29 tahun. Mulailah Pak Dirman memimpin perjuangan bersenjata mempertahankan Republik Indonesia. Pak Dirman pula yang merubah TKR menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) bersama Jenderal Oerip Soemohardjo dan Mayor Jenderal Gatot Subroto.

Sosok Pak Dirman, dikenal oleh prajurit TNI kala itu bukan sebagai Jenderal yang bermain kuasa. Beliau lebih sering disebut sebagai "Kajine" atau Pak Kaji (Haji) meskipun beliau belum pernah ke tanah suci untuk berhaji. Julukan ini karena perilaku dan budi pekerti beliau. Pak Dirman dikenal sering mengadakan pengajian di desa-desa yang dilewatinya saat bergerilya, menjaga shalat-shalat wajibnya, berpuasa sunnah, dan shalat-shalat malam meskipun berada di tengah-tengah rimba.


Di tengah-tengah perjuangannya, Pak Dirman menderita tuberculosis paru yang akhirnya memakan paru-parunya hingga Pak Dirman hanya mempunyai satu paru-paru yang berfungsi. Pada Januari 1949, Tentara Belanda melakukan serangan besar-besaran khususnya di Yogyakarta, sebagai ibukota negara kala itu, yang dikenal sebagai Agresi Militer II.


Pak Dirman sedang terbaring sakit karena penyakit tuberculosisnya semakin parah. Bung Karno meminta kepada Pak Dirman untuk beristirahat, dan tentara Belanda akan dihadapi dengan perundingan. Pak Dirman menolak dengan halus dan mengatakan bahwa dirinya dan TNI akan menghadapi tentara Belanda dengan risiko apapun. Kota Jogja jatuh, Bung Karno dan Bung Hatta ditawan Belanda, Pak Dirman membawa TNI hijrah dari kota Jogja menuju hutan-hutan di sepanjang Pulau Jawa untuk bergerilya meninggalkan keluarga dan harta yang dimiliki.

Dengan kondisi penyakit yang sangat parah....Jenderal itu terus bertempur, terus mengaji, terus istiqomah bershalat malam dimanapun berada. Taktik gerilya ini membuahkan hasil, salah satunya Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letkol Suharto (Presiden RI II) sebagai perintah Pak Dirman untuk menunjukkan bahwa Indonesia masih ada. Pak Dirman selalu memberikan semangat kepada anak buahnya dengan rangkaian ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, maukah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang akan menyelematkanmu dari siksa yang pedih. Yaitu, kamu yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwamu…”(As Shaf 10-12).


Pak Dirman wafat di Magelang pada 29 Januari 1950 pada usia 35 tahun tepat beberapa hari setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, dan beberapa hari setelah Pak Dirman kembali ke kota Jogja. Bung Karno menjanjikan pengobatan bagi Pak Dirman..namun takdir beliau adalah kembali pulang ke hadirat Allah di usia yang masih muda.

(Dari Berbagai Sumber)