Thursday, July 30, 2009

Matematika Gaji dan Logika Sedekah

Oleh A. Muttaqin


Dalam satu kesempatan tak terduga, saya bertemu pria ini.
Orang-orang biasa memanggilnya Mas Ajy. Saya tertarik dengan falsafah
hidupnya, yang menurut saya, sudah agak jarang di zaman ini, di Jakarta
ini. Dari sinilah perbincangan kami mengalir lancar.

Kami bertemu dalam satu forum pelatihan profesi keguruan yang diprogram
sebuah LSM bekerja sama dengan salah satu departemen di dalam
negeri. Tapi, saya justru mendapat banyak pelajaran bernilai bukan dari
pelatihan itu. Melainkan dari pria ini.

Saya menduga ia berasal dari kelas sosial terpandang dan mapan.Karena
penampilannya rapih, menarik dan wajah yang tampan. Namun tidak
seperti yang saya duga, Mas Ajy berasal dari keluarga yang pas-pasan. Jauh
dari mapan. Sungguh kontras kenyataan hidup yang dialaminya dengan
sikap hidup yang dijalaninya. Sangat jelas saya lihat dan saya pahami dari
beberapa kali perbincangan yang kami bangun.

Satu kali kami bicara tentang penghasilan sebagai guru. Bertukar informasi
dan memperbandingkan nasib kami satu dengan yang lain, satu
sekolah dengan sekolah lainnya. Kami bercerita tentang dapur kami
masing-masing. Hampir tidak ada perbedaan mencolok. Kami sama-sama
bernasib “guru” yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa. Yang membedakan
sangat mencolok antara saya dan Mas Ajy adalah sikap hidupnya yang amat
berbudi. Darinya saya tahu hakikat nilai di balik materi.

Penghasilannya sebulan sebagai guru kontrak tidak logis untuk membiayai
seorang isteri dan dua orang putra-putrinya. Dia juga masih memiliki
tanggungan seorang adik yang harus dihantarkannya hingga selesai SMA. Sering
pula Mas Ajy menggenapi belanja kedua ibu bapaknya yang tak lagi
berpenghasilan. Menurutnya, hitungan matematika gajinya barulah bisa
mencukupi untuk hidup sederhana apabila gajinya dikalikan 3 kali dari jumlah
yang diterimanya.

“Tapi, hidup kita tidak seluruhnya matematika dan angka-angka. Ada dimensi
non matematis dan di luar angka-angka logis.” “Maksud Mas Ajy gimana, aku
nggak ngerti?” “Ya, kalau kita hanya tertuju pada gaji, kita akan menjadi
orang pelit. Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena berapapun
sebenarnya nilai gaji setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup. Lalu
dia akan berkata, bagaimana mau sedekah, untuk kita saja kurang.”

“Kenyataannya memang begitu kan Mas?”, kata saya mengiayakan. “Mana mungkin
dengan gaji sebesar itu, kita bisa hidup tenang, bisa sedekah. Bisa
berbagi.” Saya mencoba menegaskan pernyataan awalnya. “Ya, karena kita masih
menggunakan pola pikir matematis. Cobalah keluar dari medium itu. Oke,
sakarang jawab pertanyaan saya. Kita punya uang sepuluh ribu. Makan bakso
enam ribu. Es campur tiga ribu. Yang seribu kita berikan pada pengemis,
berapa sisa uang kita?” “Tidak ada. Habis.” jawab saya spontan.

“Tapi saya jawab masih ada. Kita masih memiliki sisa seribu rupiah. Dan
seribu rupiah itu abadi. Bahkan memancing rezeki yang tidak terduga.”

Saya mencoba mencerna lebih dalam penjelasannya. Saya agak tercenung pada
jawaban pasti yang dilontarkannya. Bagaimana mungkin
masih tersisa uang seribu rupiah? Dari mana sisanya?

“Mas, bagaimana bisa. Uang yang terakhir seribu rupiah itu, kan sudah
diberikan pada pengemis “, saya tak sabar untuk mendapat jawabannya.

“Ya memang habis, karena kita masih memakai logika matematis. Tapi cobalah
tinggalkan pola pikir itu dan beralihlah pada logika sedekah. Uang yang
seribu itu dinikmati pengemis. Jangan salah, bisa jadi puluhan lontaran doa’
keberkahan untuk kita keluar dari mulut pengemis itu atas pemberian kita.
Itu baru satu pengemis. Bagaimana jika kita memberikannya lebih. Itu dicatat
malaikat dan didengar Allah. Itu menjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi
penolong di akhirat. Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang abadi.
Sementara nilai bakso dan es campur itu, ujung-ujungnya masuk WC.”

Subhanallah. Saya hanya terpaku mendapat jawaban yang dilontarkannya.
Sebegitu dalam penghayatannya atas sedekah melalui contoh kecil yang hidup
di tengah-tengah kita yang sering terlupakan. Sedekah memang berat. Sedekah
menurutnya hanya sanggup dilakukan oleh orang yang telah merasa cukup, bukan
orang kaya. Orang yang berlimpah harta tapi tidak mau sedekah, hakikatnya
sebagai orang miskin sebab ia merasa masih kurang serta sayang untuk memberi
dan berbagi.

Penekanan arti keberkahan sedekah diutarakannya lebih panjang melalui pola
hubungan anak dan orang tua. Dalam obrolannya, Mas Ajy seperti ingin
menggarisbawahi, bahwa berapapun nilai yang kita keluarkan untuk mencukupi
kebutuhan orang tua, belum bisa membayar lunas jasa-jasanya. Air susunya,
dekapannya, buaiannya, kecupan sayangnya dan sejagat haru biru perasaanya.
Tetapi di saat bersamaan, semakin banyak nilai yang dibayar untuk itu, Allah
akan menggantinya berlipat-lipat.

“Terus, gimana caranya Mas, agar bisa menyeimbangkan nilai metematis dengan
dimensi sedekah itu?”.

“Pertama, ingat, sedekah tidak akan membuat orang jadi miskin, tapi
sebaliknya menjadikan ia kaya. Kedua, jangan terikat dengan keterbatasan
gaji, tapi percayalah pada keluasan rizki. Ketiga, lihatlah ke bawah, jangan
lihat ke atas. Dan yang terakhir, padukanlah nilai qona’ah, ridha dan
syukur”. Saya semakin tertegun

Dalam hati kecil, saya meraba semua garis hidup yang telah saya habiskan.
Terlalu jauh jarak saya dengan Mas Ajy. Terlalu kerdil selama ini pandangan
saya tentang materi. Ada keterbungkaman yang lama saya rasakan di dada.
Seolah-oleh semua penjelasan yang dilontarkannya menutup rapat egoisme
kecongkakan saya dan membukakan perlahan-lahan kesadaran batin yang telah
lama diabaikan. Ya Allah saya mendapatkan satu untai mutiara melalui
pertemuan ini. Saya ingin segera pulang dan mencari butir-butir mutiara lain
yang masih berserak dan belum sempat saya kumpulkan.

***

Sepulang berjamaah saya membuka kembali Al-Qur’an. Telah beberapa waktu saya
acuhkan. Ada getaran seolah menarik saya untuk meraih dan membukanya.
Spontan saya buka sekenanya. Saya terperanjat, sedetik saya ingat Mas Ajy.
Allah mengingatkan saya kembali:

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan
tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya)
lagi Maha Mengetahui.” (Terjemah QS. Al-Baqarah [2] 261)

Tuesday, July 14, 2009

Mulutmu adalah Pakumu

Pernah ada anak lelaki dengan watak buruk. Mulutnya sering menyakiti
dan menyinggung orang lain. Ayahnya memberi dia sekantung penuh paku,
dan menyuruh memaku satu batang paku di pagar pekarangan setiap kali
dia kehilangan kesabarannya atau berselisih paham dengan orang lain.

Hari pertama dia memaku 37 batang di pagar.
Pada minggu-minggu berikutnya dia belajar untuk menahan diri, dan
jumlah paku yang dipakainya berkurang dari hari ke hari.
Dia mendapatkan bahwa lebih gampang menahan diri daripada memaku di pagar.

Akhirnya tiba hari ketika dia tidak perlu lagi memaku sebatang paku
pun dan dengan gembira disampaikannya hal itu kepada ayahnya.

Ayahnya kemudian menyuruhnya mencabut sebatang paku dari pagar setiap hari
bila dia berhasil menahan diri/bersabar.
Hari-hari berlalu dan akhirnya tiba harinya dia bisa menyampaikan
kepada ayahnya
bahwa semua paku sudah tercabut dari pagar.

Sang ayah membawa anaknya ke pagar dan berkata:
"Anakku, kamu sudah berlaku baik, tetapi coba lihat betapa banyak
lubang yang ada di pagar."

Pagar ini tidak akan kembali seperti semula.
Kalau kamu berselisih paham atau bertengkar dengan orang lain, hal
itu selalu meninggalkan luka seperti pada pagar.

Kau bisa menusukkan pisau di punggung orang dan mencabutnya kembali,
tetapi akan meninggalkan luka.
Tak peduli berapa kali kau meminta maaf/menyesal, lukanya tinggal.
Luka melalui ucapan sama perihnya seperti luka fisik.
Kawan-kawan adalah perhiasan yang langka.
Mereka membuatmu tertawa dan memberimu semangat.
Mereka bersedia mendengarkan jika itu kau perlukan, mereka menunjang
dan membuka hatimu.
Tunjukkanlah kepada teman-temanmu betapa kau menyukai mereka.