Saturday, October 31, 2009

Sekecil Apapun Amal Tidak Akan Sia-sia



Sekecil apa pun kebaikan yang kita lakukan sebenarnya tidaklah sia-sia, baik untuk orang lain maupun untuk diri kita sendiri.

Dan yang lebih dari itu adalah bahwa kebaikan yang kita perbuat mengalami snowball effect (semakin lama menggelinding, semakin besar bolanya).

Itulah mungkin sebabnya Sayyidina Muhammad al-Bagir menasehati putranya, Sayyidina JaĆ¢far ash-Shadiq,..duhai anakku, sesungguhnya Allah SWT menyembunyikan tiga di balik tiga :

1. Ia menyembunyikan ridha-Nya di dalam ketaatan kepada-Nya.
Karena itu, janganlah kau remehkan sekecil apapun ketaatan karena mungkin di situlah terletak ridha-Nya.

2. Ia menyembunyikan amarah-Nya dalam maksiat.
Karena itu, janganlah kau remehkan sekecil apapun perbuatan maksiat karena mungkin di situlah terletak amarah-Nya.

3. Ia menyembunyikan kekasih-Nya di antara makhluk-makhluk-Nya.
Karena itu, janganlah kau remehkan sehina apapun makhluk-Nya, karena mungkin ia adalah kekasih Allah.

Allahu'alam.

Send from : Majelis Ta'lim Raudhatul Musthafa

Thursday, October 22, 2009

Belajar Dari Kesahajaan Buruh Nepalis


Gedung tempat kami tinggal tergolong baru. Berlantai lima. Masih tampak cukup bagus. Meski bukan Barak Obama yang tinggal, tapi cocok jika namanya Nobel Residence. Belum juga 3 tahun umurnya. Di Doha, tinggal di gedung semacam ini, tidak semua orang mampu membayar biaya sewanya. Mahal sekali buat ukuran Indonesia. Per bulannnya, bisa mencapai tidak kurang dari 20 juta. Di Jakarta, jumlah yang sama, kita bisa tinggal di rumah mewah. Tapi lain Jakarta, lain pula Qatar. Di dalamnya, tentu orang-orang yang penghasilannya cukup mapan. Semua penghuninya punya mobil. Setidaknya itu yang saya tahu. Dan yang kedua, mereka pasti menduduki posisi yang tidak sembarangan di tempat kerja. Jika tidak, jangan harap mampu menyewa apartemen seperti itu.

Di depan gedung kami, justru berbanding terbalik. Jangankan gedungnya punya nama. Nomer saja juga tidak terpampang. Apalagi yang bermobil. Kalaupun ada mobil di parkir di depannya, paling-paling juga pembeli di toko grocery sebelah, yang kesulitan mencari tempat parkier. Atau paling banter bis bercat kuning yang setiap pagi-pagi sekali menjemput pegawai perusahaan, juga pada petang harinya. Saya tidak tahu berapa penghuninya, yang pasti puluhan yang berdesakan.

Setiap pagi pagi sekali, sekitar jam 5, saya biasanya melihat segerombolan orang pada duduk-duduk di emperan gedung bercat putih yang sudah usang itu. Ada yang merokok, ada pula yang sambil menyantap makanan, sarapan pagi. Beberapa orang juga tidak jarang menguap, tanda masih ngantuk. Banyak juga yang berjalan, ngobrol, sambil mengenakan baju seragam kerja. Pertanda bahwa mereka besar kemungkinan tidak memiliki waktu untuk mandi. Saya yakin, bahwa jumlah kamar mandinya amat terbatas, sehingga mereka tidak sempat mendapatkan giliran. Kalaupun dapat nantinya, mereka sangat kuatir ketinggalan bis yang umumnya tidak kenal maaf atas keterlambatan para pekerja ini.

Orang-orang yang tinggal di depan gedung kami, dan banyak lagi di sekitar area di mana kami tinggal, adalah pekerja kecil, alias buruh di Qatar, sebuah negara Islam yang tergolong kaya. Tidak saya lihat mereka yang berasal dari Indonesia. Rata-rata, sepengetahuan saya, mereka berasal dari Nepal, India, Banglades dan atau Srilanka.

Dari penampilannya, orang dapat dengan gampang sekali menebak taraf sosial-ekonomi mereka. Mulai dari wajah, cara bicara, sikap dan tingkah laku, hingga cara berpakaian. Orang-orang kebanyakan ini berangkat kerja pagi-pagi sekali, ketika para eksekutif masih tertidur lelap. Mereka adalah pekerja kasar. Pekerjaan mereka tidak lain kecuali disuruh. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk ‘berinisiatif’ dalam bekerja. Paling banter, jika diijinkan, di dalam sebuah bangunan,hanya sebatas membetulkan kayu yang roboh, atau mengambil paku yang tergeletak keluar dari tempat yang semestinya. Mereka tidak berani bicara di perusahaannya. Mereka tetap diam ketika gajinya terlambat. Ketika tidak diijinkan untuk makan siang lebih awal, atau ketika badan terasa tidak nyaman pun, harus berulang kali meminta ijin kepada supervisornya.

Berat sekali sepertinya pekerjaan orang-orang kecil yang setiap pagi hari berbaris di depan mata kepala saya ini. Meski demikian, Allah memang Maha Adil. sesekali saya melihat mereka begitu nikmat dalam tidur lelapnya dalam perjalanan menuju tempat kerja mereka yang menurut saya rata-rata adalah pekerja bangunan. Sementara para eksekutif yang kaya raya sulit sekali bisa tidur di rumah mewah di atas kasur yang mahal sekali pun.

*****
Adalah Shafiq (Baca: Syafiq). Orang asal Nepal ini secara fisik kelihatan seperti orang Banglades. Orang Nepal umumnya berkulit agak kekuningan. Sementara Banglades coklat tua. Dugaan saya salah, ketika saya tanya: “Are you from Bangladesh?” Dia jawab: “No! I am Nepali.” Dia satu di antara para pekerja yang tinggal di depan gedung kami. Setiap hari saya amati Shafiq selalu rajin ke masjid, terutama saat Maghrib dan Isya.

Postur tubuhnya pendek, kecil, berat badannya tidak lebih dari 55 kg menurut saya. Ketika saya tanya lagi apa profesinya, dia bilang ‘miscellaneous’. Sembarangan alias campuran. Jika bosnya butuh dia untuk kepentingan pekerjaan yang ada hubungannya dengan maintenance, dia akan garap. Demikian pula dengan perkayuan, pipa, listrik, dan lain-lain. Padahal, orang-orang yang tinggal di gedung kami, pasti mengaku orang-orang spesialis. Tidak mau disuruh jika bukan pekerjaannya. Tapi soal penghasilan, Shafiq ini minim sekali untuk ukuran orang-orang Qatar. Perkiraan saya sekitar 10% dari biaya sewa apartemen kami. Bisa dibayangkan, bagaimana mungkin orang semacam Shafiq bisa tinggal di tempat layak di negara semacam Qatar ini.

Bila malam Jumat tiba, ba’da maghrib, dia selalu jalan lurus dari masjid, bukannya belok ke gedung di mana dia tinggal. Saat saya tanya pergi ke mana, dia bilang menelepon keluarganya di Nepal, lewat komputer yang katanya jauh lebih murah disbanding lewat Telkom (QTel). Maklum, orang seperti Shafiq pasti tidak memiliki komputer. Jangankan punya komputer, koneksi listrik untuk nge-charge HP nya saja harus gantian antri dengan kawan-kawannya yang jumlahnya puluhan di gedung tersebut. Jadi bagaimana mungkin dia bisa punya akses internet? Shafiq tidak pernah mimpi untuk memilikinya.

Bapak lima orang anak ini suatu ketika raut mukanya menyembunyikan kesedihan. Ketika saya dekati dia katakan akan menelepon keluarganya. Siang hari ketika sedang kerja, dia mendapatkan berita duka dari seorang kerabatnya, bahwa Ibundanya telah berpulang ke rahmatullah. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Ditengah kesediahnnya, tersirat keteguhan jiwa seorang bapak yang sedang berjuang demi keluarganya di negeri orang.

Shafiq ternyata bukan seperti orang yang saya duga. Saya jadi merasa bersalah. Di bulan Ramadan, di masjid di mana kami biasa Salat berjamaah, pada waktu berbuka, selalu ramai makanan. Saya juga melihat begitu banyaknya makanan yang tersaji saat berbuka ini, sehingga banyak pula yang mubazir, terbuang. Padahal, makanan ini terlihat lezat sekali. Daging kambing, sapi dan ayam selalu menyertai, di samping buah-buahan, sayuran dan aneka menu berbuka puasa lainnya.

Dalam perjalanan dari masjid usai Salat Asar, saya bertanya kepada Shafiq, mengapa dia harus repot-repot dia belanja dan masak makanan di rumah, sementara begitu banyak makanan yang tersaji di masjid. Dalam pikiran saya, kan dia bersama rekan-rekannya bisa saja gabung duduk bersama pada saat berbuka puasa.

Tapi apa jawabannya: “Makanan itu untuk orang-orang yang tidak mampu. Bukan seperti kita, saya atau anda!” katanya. Subhanallah! Padahal, saya tahu persis, berapa jumlah penghasilan orang-orang seperti Shafiq. Jangankan untuk menyewa rumah sendiri, untuk sharing satu kamar yang berisi 4 tempat tidur saja di Doha, bisa jadi dia tidak mampu. Meski demikian, dia merasa tidak patut dikasihani dengan makanan gratis di masjid.

Sementara orang-orang eksekutif di negeri ini, banyak yang memiliki mentalitas yang rendah. Sudah mendapatkan penghasilan besar, masih juga ingin mendapatkan tambahan lagi yang lebih banyak. Jikalaupun makanan akan bisa diperoleh dengan gratis, seperti yang ada di masjid di atas, jangan-jangan yang memenuhi bukan para buruh sekelas Shafiq. Malahan penuh dengan para eksekufi kita. Astaghfirullah!

*****
Di lain kesempatan…….dalam perjalanan ke masjid menjelang Maghrib tadi, di depan saya, tiga orang asal Nepal, bersarung dan mengenakan peci putih, keluar dari gedung di mana Shafiq tinggal. Tiga orang ini selalu saya lihat bareng ketika berangkat dan pulang dari masjid. Usia mereka sebaya, sekitar 40 tahunan. Ketiga-tiganya juga buruh kasar. Pakaiannya tampak sudah tua termakan usia. Warnanya juga tidak lagi bisa dikenali aslinya. Sesekali saya melihat mereka membetulkan ikatan sarungnya yang melorot. Orang Islam Nepal ternyata juga gemar mengenakan sarung kita, Indonesia.

Dengan santainya, mereka berjalan bersama, seolah-olah jalan yang mereka lewati adalah milik mereka bertiga. Saya tahu mereka pasti tahu dan kenal Shafiq. Bedanya, Shafiq bukan kelompoknya. Sama seperti di negeri kita saja, yang kenal pun bukan berarti satu kelompok.

Orang-orang seperti para buruh asal Nepal ini kelihatan begitu bersahaja. Kelihatan sekali dari pancaran wajah mereka, bukan seperti orang-orang yang banyak bicara dan suka menuntut. Apakah karena itu membuat banyak buruh-buruh di Qatar didominasi oleh orang-orang Nepal? Wallahu a’lam. Saya lihat di banyak sektor, orang-orang Nepal ini ‘bertaburan’ di mana-mana, tidak terkeluali di tempat saya bekerja. Rendah diri, sederhana dan baik hati.

Tapi jangan dikira dibalik penampilan fisik yang kecil ini mereka lemah. Karena kita tahu, pasukan Gorka yang terkenal adalah dari Nepal yang bekas jajahan dan binaan Inggris. Hingga saat ini, Security Group yang terkenal di Timur Tengah direkrut dari Nepal.

Tiga orang yang saya amati di depan saya ini saat di masjid ternyata tidak memilih di sembarang barisan atau tempat. Mereka pilih di depan atau paling tidak baris kedua. Subhanallah! Dalam soal dunia, barangkali mereka tidak punya pilihan lain kecuali sebagai buruh karena keterbatasan kualifikasi mereka. Namun dalam soal ibadah, mereka tidak mau ketinggalan. Mereka ingin di barisan depan. Buruh-buruh ini ingin dan berani ‘bersaing’ dengan bersegera menjawab azdan serta salat di garda terdepan!

*****
Buruh. Di manapun berada, biasanya selalu dipandang dengan sebelah mata. Kelebihannya tidak pernah dicatat. Kesalahannya senantiasa dicari. Kebenarannya dianggap biasa, kekhilafannya dilipat-gandakan. Mereka bukan hanya tidak punya dalam arti materi, tetapi juga acapkali diinjak-injak martabat dan harga dirinya. Tidak jarang mereka serba salah dalam banyak hal.

Di negeri seberang, buruh-buruh kita, tidak sedikit yang mendapatkan perlakukan sewena-wena dari boss dan atau majikan mereka. Layaknya mereka tidak pernah memberikan kontribusi positif sama sekali bagi perusahaan mereka.

Buruh-buruh asal Nepal di sekitar gedung kami ini sepertinya bukan manusia-manusia istimewa di dunia modern yang sudah diwarnai dengan berbagai polusi ambisi dan reputasi, sebagaimana yang banyak terjadi di sekitar kita. Mereka membikin saya terpukau!

Mereka memang tidak memimpikan punya mobil pribadi dan memiliki tempat parkir sendiri seperti di Nobel Residence. Tapi mereka adalah sosok manusia yang berlomba-lomba menuju kebaikan guna mendapatkan ridha Allah Ta’ala.

Barangkali, demikian pikir saya, sekalipun tidak mendapatkannya di dunia ini, siapa tahu dengan seijin Allah SWT, dengan untaian kebajikan meski hanya berpredikat buruh, kelak bakal di dapatkannya ‘Nobel Residence’ yang keindahannya melebihi Puncak Himalaya di Surga kelak. Wallahu a’lam!

October 20, 2009

oleh Syaifoel Hardy - Shardy2@hotmail.com

Monday, October 19, 2009

A Story To Live



There was a blind girl who hated herself because she was blind. She hated
everyone, except her loving boyfriend. He was always there for her. She
told her boyfriend, 'If I could only see the world, I will marry you.'

One day,
someone donated a pair of eyes to her. When the bandages
came off, she was able to see everything,
including her boyfriend.

He asked her, 'Now that you can see the world, will you marry me?' The
girl looked at her boyfriend and saw that he was blind.
The sight of ! his closed eyelids shocked her.
She hadn't expected that.
The thought of looking at them the rest of her life
led her to refuse to marry him.

Her boyfriend left in tears and days later wrote a note to her
saying:
'Take good care of your eyes, my dear,
for before they were yours,
they were mine.'

This is how the human brain often works our status changes.
Only a very few remember what life was like before, and who
was always by their side in the most painful situations.
Life Is a Gift !

Today before you say an unkind word
- Think of someone who can't speak.

Before you complain about the taste of your food
- Think of someone who has nothing to eat.

Before you complain about your husband or wife
- Think of someone who's crying out to GOD for a companion.

Today before you complain about life
- Think of someone who died too! early on this earth.

Before you complain about your children
- Think of someone who desires children but they're barren...

Before you argue about your dirty house someone didn't clean or sweep
- Think of the people who are living in the streets.

Before whining about the distance you drive
-Think of someone who walks the same distance with their feet.

And when you are tired and complain about your job
- Think of the unemployed, the disabled, and thos e who wish they had your job.

But before you think of pointing the finger or condemning another
- Remember that not one of us is without sin.

And when depressing thoughts seem to get you down
- Put a smile on your face and think:
you're alive and still around.

Thursday, October 15, 2009

Ciri-ciri Orang Yang Memiliki Keikhlasan


Ciri-ciri dari orang yang memiliki keikhlasan diantaranya :

*1. Hidupnya jarang sekali merasa kecewa,*
Orang yang ikhlas dia tidak akan pernah berubah sikapnya seandainya disaat
dia berbuat sesuatu kebaikan ada yang memujinya, atau tidak ada yang
memuji/menilainya bahkan dicacipun hatinya tetap tenang, karena ia yakin
bahwa amalnya bukanlah untuk mendapatkan penilaian sesama yang selalu
berubah tetapi dia bulatkan seutuhnya hanya ingin mendapatkan penilaian yang
sempurna dari Allah SWT.

*2.Tidak tergantung / berharap pada makhluk*
Sayyidina Ali pun pernah berkata, orang yang ikhlas itu jangankan untuk
mendapatkan pujian, diberikan ucapan terima kasih pun dia sama sekali tidak
akan pernah mengharapkannya, karena setiap kita beramal hakikatnya kita itu
sedang berinteraksi dengan Allah, oleh karenanya harapan yang ada akan
senantiasa tertuju kepada keridhaan Allah semata.

*3.Tidak pernah membedakan antara amal besar dan amal kecil*
Diriwayatkan bahwa Imam Ghazali pernah bermimpi, dan dalam mimpinya beliau
mendapatkan kabar bahwa amalan yang besar yang pernah beliau lakukan
diantaranya adalah disaat beliau melihat ada seekor lalat yang masuk kedalam
tempat tintanya, lalu beliau angkat lalat tersebut dengan hati-hati lalu
dibersihkannya dan sampai akhirnya lalat itupun bisa kembali terbang dengan
sehat. Maka sekecil apapun sebuah amal apabila kita kerjakan dengan sempurna
dan benar-benar tiada harapan yang muncul pada selain Allah, maka akan
menjadi amal yang sangat besar dihadapan Allah SWT.

*4. Banyak Amal Kebaikan Yang Rahasia*
Mungkin ketika kita mengaji dilingkungan orang banyak maka kita akan mengaji
dengan enaknya, lama dan penuh khidmat, ketika kita shalat berjamaah apalagi
sebagai imam kita akan berusaha khusyu dan lama, tapi apakah hal tersebut
akan kita lakukan dengan kadar yang sama disaat kita beramal sendirian ?
apabila amal kita tetap sama bahkan cenderung lebih baik, lebih lama, lebih
enak dan lebih khusyuk maka itu bisa diharapkan sebagai amalan yang ikhlas.
Namun bila yang terjadi sebaliknya, ada kemungkinan amal kita belumlah
ikhlas.

*5. Tidak membedakan antara bendera, golongan, ras, atau organisasi*
Fitrah manusia adalah ingin mendapatkan pengakuan dan penilaian dari
keberadaannya dan segala aktivitasnya, namun pengakuan dan penilaian
makhluk, baik perorangan, organisasi atau instansi tempat kerja itu relatif
dan akan senantiasa berubah, banyak orang yang pernah dianggap sebagai
pahlawan namun seiring waktu berjalan adakalanya berubah menjadi sosok
penjahat yang patut diwaspadai. Maka tiada penilaian dan pengakuan yang
paling baik dan yang harus senantiasa kita usahakan adalah penilaian dan
pengakuan dari Allah SWT.

Dari Seri Mutiara Al Hikam oleh *Aa Gym.

Wednesday, October 14, 2009

Waspadai Fenomena Negatif FB



Ketika perpecahan keluarga menjadi tontonan yang ditunggu dalam sebuah episode infotainment setiap hari. Ketika aib seseorang ditunggu-tunggu ribuan mata bahkan jutaan dalam berita-berita media massa.

Ketika seorang celebritis dengan bangga menjadikan kehamilannya di luar pernikahan yang sah sebagai ajang sensasi yang ditunggu-tunggu ...’siapa calon bapak si jabang bayi?’

Ada kabar yang lebih menghebohkan, lagi-lagi seorang selebritis yang belum resmi berpisah dengan suaminya, tanpa rasa malu berlibur, berjalan bersama pria lain, dan dengan mudahnya mengolok-olok suaminya.

Mungkin kita bisa berkata ya wajarlah artis, kehidupannya ya seperti itu, penuh sensasi.Kalau perlu dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi, aktivitasnya diberitakan dan dinikmati oleh publik.

Ternyata sekarang bukan hanya artis yang bisa seperti itu, sadar atau tidak, ribuan orang sekarang sedang menikmati aktivitasnya apapun diketahui orang, dikomentari orang bahkan mohon maaf ....’dilecehkan’ orang, dan herannya perasaan yang didapat adalah kesenangan.

Fenomena itu bernama facebook, setiap saat para facebooker meng update statusnya agar bisa dinikmati dan dikomentari lainnya. Lupa atau sengaja hal-hal yang semestinya menjadi konsumsi internal keluarga, menjadi kebanggaan di statusnya. Lihat saja beberapa status facebook :

Seorang wanita menuliskan “Hujan-hujan malam-malam sendirian, enaknya ngapain ya.....?”------kemudian puluhan komen bermunculan dari lelaki dan perempuan, bahkan seorang lelaki temannya menuliskan “mau ditemanin? Dijamin puas deh...”

Seorang wanita lainnya menuliskan “ Bangun tidur, badan sakit semua, biasa....habis malam jumat ya begini...:” kemudian komen2 nakal bermunculan. ..

Ada yang menulis “ bete nih di rumah terus, mana misua jauh lagi....”, ----kemudian komen2 pelecehan bermunculan

Ada pula yang komen di wall temannya “ eeeh ini si anu ya ...., yang dulu dekat dengan si itu khan? Aduuh dicariin tuh sama si itu....” ----lupa klu si anu sudah punya suami dan anak-anak yang manis

Yang laki-laki tidak kalah hebat menulis statusnya “habis minum jamu nih...., ada yang mau menerima tantangan ?’----langsung berpuluh2 komen datang

Ada yang hanya menuliskan, “lagi bokek, kagak punya duit...”

Ada juga yang nulis “ mau tidur nih, panas banget...bakal tidur pake dalaman lagi nih”

Dan ribuan status-status yang numpang beken dan ingin ada komen-komen dari lainnya

Dan itu sadar atau tidak sadar dinikmati oleh indera kita, mata kita, telinga kita, bahkan pikiran kita.

Tak ada lagi rasa malu, tertuang semua di halaman tersebut, halaman dunia maya yang menjadikan penikmatnya tak lagi merasa canggung dan malu menulis dan berkomentar karena memang tak ada lagi yang dianggap tabu.

Tak ada pengawasan dari administrator yang menjadikan penikmatnya semakin merasa bebas dan cenderung merasa sah-sah saja apa yang mereka tuliskan.

Ada yang lebih kejam dari sekedar status facebook, dan herannya seakan hilang rasa empati dan sensitifitas dari tiap diri terhadap hal-hal yang semestinya di tutup dan tidak perlu di tampilkan.

Seorang wanita dengan nada guyon mengomentarin foto yang baru sj di upload di albumnya, foto-foto saat SMA dulu setelah berolah raga memakai kaos dan celana pendek.....padahal sebagian besar yang didalam foto tersebut sekarang sudah berjilbab

Ada seorang karyawati mengupload foto temannya yang sekarang sudah bekeluarga, berkehidupan yang bermartabat, yaitu foto saat dulu bersama teman-teman prianya bergandengan dengan ceria....

Ada pula seorang pria meng upload foto seorang wanita mantan kekasihnya dulu yang sedang dalam kondisi sangat seronok padahal kini sang wanita telah berkeluarga dan hidup dengan tenang

Dan fenomena di atas harusnya menjadi pertanda bagi mereka yang mau berpikir, hegemoni ‘kesenangan semu’ dan dibungkus dengan ‘persahabatan fatamorgana’ ditampilkan dengan mudahnya celoteh dan status dalam facebook yang melindas semua tata krama tentang Malu, tentang menjaga Kehormatan Diri dan keluarga.

Arogansi kesenangan semakin menjadi-jadi dengan tanpa merasa bersalah mengungkit kembali aib-aib masa lalu melalui foto-foto yang tidak bermartabat yang semestinya dibuang saja atau disimpan rapat.

Bagi mereka para wanita yang telah merintis jalan yang mereka yakini jauh lebih mulia dengan menutup kehormatannya, menjadi teriris hatinya melihat masa lalunya dibuka dengan penuh senyuman, oleh orang yang mengaku sebagai teman, sebagai sahabat. Sedangkan mereka tak dapat berbuat apa-apa…

Maka jagalah kehormatan diri, jangan tampakkan lagi aib-aib masa lalu.

Maka jagalah kehormatan diri kita, simpan rapat keluh kesah kita, simpan rapat aib-aib diri, jangan bebaskan ‘kesenangan’, ‘gurauan’ membuat kehormatan diri kita luntur tak berbekas...

Source: milist