Monday, July 18, 2011

Mengenang Ustadz Jenderal Sudirman


Tidak ada seorang Indonesia pun yang tidak mengenal beliau. Namanya kerap diabadikan sebagai nama jalan-jalan besar di kota-kota seantero Indonesia. Ya, beliau Jenderal Sudirman, yang sering dipanggil sebagai Pak Dirman. Seorang Jenderal yang sekaligus ulama,guru dan panglima perang di masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan 1945-1949.

Sudirman lahir di Desa Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah pada 24 Januari 1916. Beliau lahir dari kalangan santri dan mengenyam pendidikan Muhammadiyah. Sebelum bergabung dengan Kyodo Boei Gyugun atau yang diistilahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai Tentara Pembela Tanah Air (PETA), Pak Dirman adalah guru di sekolah Muhammadiyah di Cilacap.

Pak Dirman direkrut pemerintah Jepang untuk disiapkan sebagai pasukan cadangan guna menahan infiltrasi tentara sekutu di bawah pimpinan Jenderal Douglas Mc Arthur. Karena kapasitasnya, selepas pendidikan militer Pak Dirman langsung menjadi komandan bataliyon PETA Banyumas.

Setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, para veteran PETA digabungkan dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal TNI. Pak Dirman menjabat sebagai Panglima Divisi Region Banyumas dengan pangkat Kolonel.

Pada tanggal 12 Desember 1945, Pak Dirman memimpin sebuah serangan terhadap Tentara Inggris di Ambarawa, yang dikenal sebagai Palagan Ambarawa, dan berhasil memukul mundur Tentara Inggris pada tanggal 16 Desember 1945. Dalam palagan Ambarawa tersebut Pak Dirman merekrut dan melatih santri-santri Pondok Pesantren Kyai Siraj Ambarawa sebagai anggota tentara.

Kemenangan gemilang Pak Dirman ini menjadikan Bung Karno (Presiden RI kala itu) mengangkat Pak Dirman sebagai Panglima Angkatan Bersenjata dan menaikkan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal pada tanggal 18 Desember 1945. Usia beliau saat diangkat menjadi Panglima Angkatan Bersenjata masih 29 tahun. Mulailah Pak Dirman memimpin perjuangan bersenjata mempertahankan Republik Indonesia. Pak Dirman pula yang merubah TKR menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) bersama Jenderal Oerip Soemohardjo dan Mayor Jenderal Gatot Subroto.

Sosok Pak Dirman, dikenal oleh prajurit TNI kala itu bukan sebagai Jenderal yang bermain kuasa. Beliau lebih sering disebut sebagai "Kajine" atau Pak Kaji (Haji) meskipun beliau belum pernah ke tanah suci untuk berhaji. Julukan ini karena perilaku dan budi pekerti beliau. Pak Dirman dikenal sering mengadakan pengajian di desa-desa yang dilewatinya saat bergerilya, menjaga shalat-shalat wajibnya, berpuasa sunnah, dan shalat-shalat malam meskipun berada di tengah-tengah rimba.


Di tengah-tengah perjuangannya, Pak Dirman menderita tuberculosis paru yang akhirnya memakan paru-parunya hingga Pak Dirman hanya mempunyai satu paru-paru yang berfungsi. Pada Januari 1949, Tentara Belanda melakukan serangan besar-besaran khususnya di Yogyakarta, sebagai ibukota negara kala itu, yang dikenal sebagai Agresi Militer II.


Pak Dirman sedang terbaring sakit karena penyakit tuberculosisnya semakin parah. Bung Karno meminta kepada Pak Dirman untuk beristirahat, dan tentara Belanda akan dihadapi dengan perundingan. Pak Dirman menolak dengan halus dan mengatakan bahwa dirinya dan TNI akan menghadapi tentara Belanda dengan risiko apapun. Kota Jogja jatuh, Bung Karno dan Bung Hatta ditawan Belanda, Pak Dirman membawa TNI hijrah dari kota Jogja menuju hutan-hutan di sepanjang Pulau Jawa untuk bergerilya meninggalkan keluarga dan harta yang dimiliki.

Dengan kondisi penyakit yang sangat parah....Jenderal itu terus bertempur, terus mengaji, terus istiqomah bershalat malam dimanapun berada. Taktik gerilya ini membuahkan hasil, salah satunya Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dipimpin oleh Letkol Suharto (Presiden RI II) sebagai perintah Pak Dirman untuk menunjukkan bahwa Indonesia masih ada. Pak Dirman selalu memberikan semangat kepada anak buahnya dengan rangkaian ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, maukah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang akan menyelematkanmu dari siksa yang pedih. Yaitu, kamu yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwamu…”(As Shaf 10-12).


Pak Dirman wafat di Magelang pada 29 Januari 1950 pada usia 35 tahun tepat beberapa hari setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, dan beberapa hari setelah Pak Dirman kembali ke kota Jogja. Bung Karno menjanjikan pengobatan bagi Pak Dirman..namun takdir beliau adalah kembali pulang ke hadirat Allah di usia yang masih muda.

(Dari Berbagai Sumber)

No comments: